Oleh Ust. Ahmad Sarwat, Lc
Ah, masak sih? Bukankah hadits itu sudah terkenal
dimana-mana, bahkan disebut-sebut oleh semua penceramah dari pengajian di
istana sampai kakilima? Kalau memang hadits palsu, kenapa tidak pernah ada yang
bilang? Lagian kenapa bilangnya baru sekarang?
Mungkin sederet protes seperti itu yang akan mengalir keluar
dari mulut kita kalau membaca judul di atas. Ya, benar. Hadits bahwa surga di
bawah telapak kaki ibu memang sangat populer di jagad dunia pengajian dan
majelis taklim.
Tiap ada anak bandel sama orang tua, khususnya ibu, pasti
nasehat-nasehatnya akan mengutip hadits surga di bawah telapak kaki itu. Bahkan
ada lagu anak-anak yang sering kita dengar :
Surga di telapak kaki ibuuuu . . . .
Itulah hadits Nabi Muhammaaaad . . .
Syalalala . . .
Lalu kok tiba-tiba ada yang bilang hadits itu palsu?
Memangnya benar palsu atau bagaimana? Lalu kalau palsu, terus letaknya surga
dimana dong? Apa pindah ke bawah telapak kaki ayah? atau telapak kaki siapa?
Lagian, kalau surga tidak lagi di telapak kaki ibu, karena
ternyata haditsnya palsu, apakah anak jadi boleh melawan ibunya?
Dan bagaimana dengan nasib si Malinkundang? Apakah dengan
begitu kemudian kutukannya dicabut sehinga kembali lagi menjadi manusia setelah
bertahun-tahun jadi batu?
Penjelasannya begini :
Lafadz al-jannatu tahta aqdamil ummahat itu memang tidak
kita temukan rujukannya di dalam kitab-kitab hadits yang muktamad. Bahkan meski
haditsi itu sangat ngetop dimana-mana, rasanya tidak ada yang tahu, siapa sih
perawinya?
Saya sendiri membolak-balik kitab kuning sampai pusing tujuh
keliling, ternyata tidak ketemu juga. Mungkin kapasitas ilmu saya masih sangat
rendah kali ya.
Di dalam kitab Adh-Dhu'afa' disebutkan bahwa hadits ini
diriwayatkan dari Musa bin Muhammad bin Atha' dari Abu Al-Mulih dan Maimun dari
Ibnu Abbas secara marfu', bahwa hadits ini adalah munkar. Al-Hafidz menyebutkan
tentang perawi hadits ini, yaitu si Musa adalah kadzdzab (pendusta).
Abu Bakar Asy-Syafi meriwayatkan hadits ini di dalam
Ar-Ruba'iyat dari Manshur bin Al-Muhajir dari Abu Nadzhar Al-Abar dari Anas
secara marfu'. Ibnu Thahir mengatakan bahwa Manshur dan Abu Nadzhar, keduanya
tidak dikenal. Dan haditsnya munkar.
Al-Albani bilang bahwa hadits ini termasuk palsu,
diriwayatkan oleh Ibnu Adi dan Al-Uqaili di dalam kitab Adh-Dhu'afa.
Sebenarnya tidak semua ulama hadits mengatakan bahwa hadits
ini maudhu' atau munkar. Sebab kita juga menemukan bahwa di dalam kitab
Al-Jami' Ash-Shaghir karya Al-Imam Ash-Shuyuthi, ada disebutkan juga hadits
ini, dan penulis menyebut hadits ini sebagai hadits hasan, yaitu hadits surga
itu di bawah telapak kaki ibu.
Sedangkan hadits bunyinya : siapa yang mencium di antara
kedua mata ibunya, maka mendapat penutup (penghijab) dari neraka, adalah hadits
yang dhaif.
Nah, lepas dari perbedaan hukum atas hadits ini, antara
mereka yang mengatakan palsu, munkar atau hasan, ada baiknya kita cari lagi
hadits yang senada, tetapi yang benar-benar terlepas dari perbedaan pendapat.
Dan alhamdulilah akhirnya kita bisa temukan hadits yang
hasan bahkan dishahihkan oleh banyak ulama. Sehingga kedudukan surga yang
berada di bawah telapak kaki ibu, insya Allah tidak akan berubah.
Sebab ternyata ada hadits lain yang derajatnya maqbul, baik
shahih atau hasan, dan isinya tetap menyatakan bahwa surga masih tetap di bawah
telapak kaki ibu. Hadits itu adalah hadits Mu'awiyah bin Jahimah, dimana beliau
pernah mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya :
"Ya, Rasulallah. Aku ingin ikut dalam peperangan, tapi
sebelumnya Aku minta pendapat Anda". Rasulullah SAW bertanya,"Apakah
kamu masih punya ibu?". "Punya", jawabnya. Rasulullah
SAW,"Jagalah beliau, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua telapak kakinya".
(HR. An-Nasai, Ahmad dan Ath-Thabarani)
Sanad hadits ini oleh banyak ulama diterima sebagai hadits
yang hasan, bahkan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menyebutnya sebagai hadits shahih.
Maka kita tetap wajib berbakti kepada ibu kita, karena
ternyata surga 'masih' di bawah telapak kakinya dan tidak pindah ke telapak
kaki orang lain. Sedangkan si Malinkundang, legenda dari Sumatera Barat itu,
tetap masih jadi batu karena durhaka kepada ibunya. ■