“Teman-teman akrab pada hari itu (hari kiamat) akan saling bermusuhan kecuali orang-orang yang bertakwa.”
(az-Zukhruf : 67)
Oleh : Kukuh Sulisman
“Barangsiapa keliru memilih tukang cukur, ia
akan menyesal sebulan. Barangsiapa tidak tepat memilih teman hidup, ia akan
menyesal di dunia. Barangsiapa salah memilih agama, ia akan menyesal dunia
akhirat.”
Itulah untaian kata-kata yang masih terus
terngiang dalam benak kita. Mutiara hikmah yang dipesankan leluhur, orang tua,
dan guru ngaji diwaktu kecil, agar kita lebih jeli dalam mengarungi bahtera
kehidupan ini. Agar kita mantap menatap masa depan.
Kehadiran sahabat sejati menjadi dambaan setiap
orang. Ia adalah pelita penerang dalam kehidupan. Ia bak bintang yang menemani
sang rembulan dilangit malam, bersama menghiasi panorama kegelapan. Ia selalu
membawa keteduhan dan kesejukan dimanapun ia berada. Tak heran bila kepergiannya
pun akan meninggalkan sejuta kenangan. Hari-hari kebersamaan dengannya selalu
sulit untuk dilupakan, selamanya.
Ikatan ukhuwah bagi sahabat semacam ini tak akan
putus diterjang badai kepentingan duniawi bernama materi, pangkat, jabatan, dan
kekuasaan. Jarak yang jauh, perbedaan yang waktu dan ruang juga bukan menjadi
penghalang. Sebab, pancaran kasih sayangnya timbul dari hati yang dalam. Bukan
dari lisan yang suka berbohong. Bukan pula dari titah nafsu yang penuh noda.
Sahabat sejati kita mungkin tak sempat mengenyam
pendidikan tinggi. Tak sempat kesana kemari sebebas kita. Kehidupan dunianya
pun kadang masih ‘senin-kamis’. Jauh dibawah kita. Tapi ditengah kondisi
seperti itu, ia masih sempat untuk selalu melemparkan senyum keakraban saat
berpapasan. Ia masih punya waktu untuk menyediakan sapa mesra saat bertemu.
Taushiahnya begitu menyentuh. Kata-katanya memberikan tetes embun kesejukan.
Kondisi yang ada menjadikan tawadhu dengan
segala keagungan yang dimilikinya. Subhanallah, kesabarannya membuat semua
kekurangan yang dipunyainya menjadi nikmat yang tak terkira, menjadi pesona
yang tak ternilai.
Ia memang tak harus selalu mengiyakan semua
tingkah laku kita. Ia tidak mesti selalu sependapat dan melulu memuji. Tidak
pula harus selalu tampak sejalan dengan pikiran kita. Namun, ada kalanya ia
laksana obat. Pahit tetapi mampu mengusir penyakit yang mungkin hinggap di
tubuh sahabatnya. Ia berani mengkritik bijak setiap kesalahan kita. Ia takut
kekurangan dan kesalahan itu akan membuat sahabatnya tercela. Baginya, biarlah
ucapannya pahit didepan sang sahabat, ketimbang sang sahabat cacat di mata
Allah, di mata agamanya, di mata orang lain.
Ia juga setia mengingatkan di saat sang sahabat
lalai. Ia tak hanya piawai membuat kita ceria dibuai hiburan dan pujian
tulusnya. Tetapi juga mahir membuat kita menangisi kekeliruan, menyadari
segenap kesalahan, menginsyafi segala kelalaian. Lalu ia membimbing dengan
ikhlas, mengajak berjalan bersama, berjuang bersama.
Dan yang terpenting, ia selalu mendukung, mengarahkan dan memberikan gagasan-gagasan cerdas untuk mengarungi kehidupan ini menuju muara cinta-Nya yang hakiki.
Sahabat sejati akan mencintai kita sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri. Merasa gembira dengan kegembiraan kita, turut
bersedih kala duka menyapa kita. Ia hafal benar bunyi hadis: “Tidak sempurna
iman seseorang diantara kamu hingga ia mencintai saudaranya seperti halnya ia
mencintai dirinya sendiri.”
Ia juga selalu ingat sabda Rasulullah SAW,
“Sebaik-baik manusia adalah yang palng bermanfaat bagi orang lain.”
“Islam hanya akan bisa bangkit kembali dengan cara seperti ini. Bukankah Rasulullah SAW telah mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin hingga persaudaraan mereka sampai melebihi saudara kandung?” begitu jawabnya setiap ditanya tentang urgensi persaudaraan.
Ia pun sering membacakan hadis tentang tujuh
golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di hari yang tidak ada naungan
selain naungan-Nya. Ia juga tak pernah bosan melantunkan hadis tentang syarat
merasakan manisnya iman. Saling mencintai demi keridhaan Allah, itulah prinsip
hidupnya pegangannya.
“Engkau membutuhkan sesuatu dariku dan aku bisa
mempersembahkan yang terbaik untukmu,” kata-katanya yang selalu menghiasai
lisannya yang sederhana.
Orang seperti ini dan sahabat-sahabat sejatinya,
itulah yang sigambarkan Rasulullah SAW sebagai kelompok hamba Allah di akhirat.
Mereka bukan dari golongan nabi dan syuhada, akan tetapi kedudukan mereka di
sisi Allah sangat mulia. Bahkan cahaya benderang dari wajah mereka membuat para
nabi dan syuhada merasa iri. Mereka tidak merasa takut ketika orang lain merasa
takut, dan mereka tidak merasa khawatir ketika orang lain dilanda kekhawatiran.
Sosok seperti inilah yang mampu menjadikan
persahabatan sebagai jembatan menuju ridha ilahi. Berbahagialah mereka yang
sempat mendapatkan makhluk yang satu ini sebagai sahabat. Merasakan keindahan
hakiki ditemani sosok mulia ini, sang pujaan hati, sahabat sejati. ■
[Lembaran Jum’at, Edisi 17 Th. 2010]